Followers

Widget-1 title

About Me

Widget-2 title

Resensi pilihan :)


Judul Buku : Hafalan Shalat Delisa 
Penulis : tere-liye 
Penerbit : REPUBLIKA 
Halaman isi : 270 halaman 20.5 x 13.5 cm 
Jenis : Fiksi Islami 
Cetakan  2008


Buku ini bercerita tentang kehidupan sehari-hari seorang anak berumur 6 tahun bersama ketiga kakak perempuannya –Fatimah, Zahra, dan Aisyah- dan seorang ibu –Ummi- juga seorang ayah –Abi-. Dimulai dengan “Shalat Lebih Baik dari Tidur”, membuat kita kenal dengan keluarga sederhana dan bersahaja ini dengan paparan bahasa yang tegas kadang lucu. Delisa –tokoh utama- digambarkan begitu berbeda dengan anak-anak seumurannya di daerah Lhok Nga –termasuk kakak-kakaknya-, tidak hanya urusan perangai bahkan fisik pun sangat berbeda. Rambut ikal keemasan, bermata hijau dan paras yang sangat menggemaskan. Yang tersaji pada bagian opening ini adalah bagaimana perjuangan sang Delisa untuk menghafal bacaan shalatnya. Sederhana sekali memang namun penulis mampu menyuguhkan narasi-narasi yang tidak biasa. 

Berlanjut pada bab-bab pertengahan –sekitar halaman 60an-, yaitu klimaks. Sebuah bencana maha dahsyat terjadi. Tepatnya tsunami 8,9 SR.  Sebuah patahan pada lantai bumi. Sebuah gelombang raksasa yang menghantarkan ribuan laksa air laut ke hamparan Aceh utara, Lhok Nga. Menghantam rumah dan gedung-gedung, menumbangkan pepohonan, menyeret kendaraan-kendaraan begitu ringannya, menghanyutkan jiwa-jiwa yang histeris dan menelangsakan mereka yang selamat. Dimulai dengan “26 Desember 2004 Itu!”, penulis mendeskripsikan kejadian yang mungkin saja bisa terjadi saat itu. Sosok Delisa yang tiba-tiba lupa bagaimana bacaan sujudnya yang dilambangkan penulis sebagai pertandaNya yang nyata terhadap bencana yang akan terjadi dalam catatan kaki penulis. Pada bab ini Delisa akan menyetor hafalannya kepada Ibu Guru Nur, saat gilirannya tiba, saat takbir pertama dimulai, ratusan kilometer jauhnya dari Lhok Nga, lantai laut retak seketika. Begitu cermat dan sabar penulis mendeskripsikan serta menggabungkan setiap gerak dan bacaan shalat Delisa dengan alur kejadian bencana tersebut –tsunami-. Hingga Delisa tak mampu mengingat satupun hafalan shalatnya. 
Di sinilah semua permasalahan dan penyelesaiaan dimulai. 

Memasuki beberapa bab akhir yang menjadi anti-klimaks membuat novel ini lebih bercerita banyak akan makna hidup dan keikhlasan. Penulis menjadikan sosok Delisa yang masih kecil menjadi sosok yang dewasa sebelum umurnya. Walau itu bukan hal yang tidak mungkin, namun penulis mampu menyuguhkan permasalahan yang sederhana (selain tsunami) dengan pertautan batin sebagai wujud pendewasaan yang dialami Delisa. Pintu-pintu kebaikan itu tertutup bagi orang-orang yang tidak tulus. Begitulah pesan akhir yang dapat pembaca petik dalam permasalahan Delisa mengenai hafalannya yang selama ini telah hilang bersama ribuan laksa air yang menimpa Lhok Nga. 

Akhir yang disuguhkan tidak memaksa. Delisa yang akhirnya memahami makna keikhlasan pun mampu menghafal bacaan shalatnya dengan begitu lancar. Seakan-akan bacaan itu berbicara kepada Delisa. Delisa pun pertama kalinya melakukan shalat dengan sempurna dan khusuk. Begitulah keinginannya selama ini. Namun, penulis tidak mengakhiri kisah di sini. Di sebuah sungai, usai shalat Ashar berjamaah, usai melakukan aktivitas bersama teman-teman sekelasnya membuat kaligrafi, Delisa menuju sungai untuk membersihkan repihan pasir yang menempel pada lengannya. Ia basuh wajahnya dan mendapati kesejukan yang begitu menyegarkan. Hingga ia menangkap sebuah cahaya yang selama ini ia cari, yaitu kalung yang akan diberikan ibunya sebagai hadiah bila ia dapat menghafal bacaan shalatnya. Bukan tergantung di semak-semak atau batang pohon, namun kalung itu menggantung digenggaman tulang tangan manusia, Umminya yang selama ini Delisa rindukan. 

Penulis pintar dalam mempermainkan narasi yang mampu menggetarkan hati, terbukti dalam catatan kaki yang juga disuguhkan penulis dalam beberapa bab sebagai salah satu pesan terhadap pembaca juga terhadap diri penulis sendiri. Penulis mengaku bahwa dia tidak pernah mengunjungi Lhok Nga sebelumnya, oleh karena itu, paparan deskripsi tempat tidak digambarkan secara detail hanya beberapa tempat yang diambil secara general, misal suasana pesisir pantai. Sayangnya, mungkin karena penulis ingin berbicara secara tegas tentang Delisa sebagai tokoh utama, penulis tidak memberikan deskripsi tokoh-tokoh lainnya secara detail dan kuat. Hal ini telihat jelas ketika penulis mendeskripsikan Delisa sebagai tokoh utama dibandingkan tokoh-tokoh lainnya. Kontras. 

Karya ini memang patut dikatakan sebagai karya best seller, karena pesan yang diberikan adalah sederhana namun begitu kuat dan mampu menginsafkan kita pada makna keikhlasan. Dalam penyusunan antar kertas sangat kuat dan rapi sehingga tidak mudah robek.

“Novel tentang bacaan shalat anak 6 tahun dengan latar bencana tsunami ini sangat mengharukan. Nilai keikhlasan dengan halus di jalin pengarangnya ke dalam plot cerita dunia kanak-kanak ini. Saya membacanya dengan rasa sentimental, karena selepas tsunami saya pernah bolak-balik ke Lhok Nga itu.” 
Taufik Ismail 
Penyair 

“Buku yang indah ditulis dalam kesadaran ibadah. Buku ini mengajak kita mencintai kehidupan, juga kematian, mencintai anugerah juga musibah dan mencintai indahnya hidayah.” 
Habiburrahman El Shirazy 
Novelis/penulis Best Seller Ayat-Ayat Cinta 

“What a wonderfull book… thought me about what the basic of love…” 
Ririen 
www.goodreads.com 

Begitulah komentar para pembaca buku best seller ini. Buku ini sangat religius –walau di dalamnya jarang sekali akan anda temukan petikan-petikan ayat Al-Quran-, sungguh menyentuh dan dewasa sekali. Bahasa yang digunakan sangat sederhana, fokus konflik yang tidak muluk dan ending yang tidak memaksa. 

Categories: